akuu akan menulis segala hall di sini ... secara personal .... hi hi hi hi

Minggu, 26 September 2010

Lomba Cerpen 2009 se-Jogja by Whi-wid

LARA ITU AKU

Matahari mulai meredup. Hujan terus turun sejak pagi tadi. Langit begitu kelam seolah mendung kelamnya suasana hati yang sedang kacau.

Seorang gadis terus memandang hujan yang turun deras dari balik jendela kamarnya. Tangannya sibuk menulis sesuatu diatas buku dan matanya sesekali memandangi tulisannya, kemudian memandang hujan lagi ketika otaknya sedang berfikir. Semua hasil pengotakannya tertuang dalam tulisan buku kecil tebal ini, ini buku diarynya.

“Namaku Lara. Entah mengapa orang tuaku memberi nama itu. Biasanya nama itu punya arti, atau setidaknya orang tua memberi tahu arti nama anaknya. Namun, saat aku tanya Ibuku, dia hanya menyuruhku mencari sendiri arti nama itu, tentu saja aku binggung. Ibuku memang sering membinggungkanku. Belakangan aku mengetahui bahwa lara bermakna kesedihan. Sebuah nama hasil refleksi dari kesedihan ibuku. Ya, ibuku memang membesarkanku sendiri tanpa seorang suami. Mungkin didalam perjuangannya membesarku Ibuku selalu dalam kondisi tak mengenakkan.

Aku memang hidup berdua dengan ibuku. Katanya, ayahku tidaklah jelas. Mulai dari situlah kebingunganku. Aku binggung dengan sifat dan keberadaan ibuku. Kebingunganku adalah saat kubertanya tentang identitasku sendiri yang jelas beda dengan kebanyakan orang. Aku tak memiliki ayah, setidaknya dalam bentuk fisik. Ibu tidak pernah mau menceritakan selain dia berkata “Berhati-hatilah terhadap makhluk yang bernama laki-laki. Kau cantik dan kau perempuan”.

Aku tidak bertanya lagi selain aku sangat mengerti tentang adanya masa lalu yang kelam pada dunia ibuku. Hal lain yang membuatku juga binggung adalah aku tidak tahu pasti kapan Ibuku terlihat bahagia dan kapan ibuku terlihat sedih. Sepertinya ia sangat dingin memandang kehidupan ini, dia hanya sekedar menjalani kehidupan ini. Bila ku tanyakan berhubungan dengan hal itu, ibuku hanya berkata,” kau harus tau bahwa hidup ini hanya sementara.” Hanya itu yang di katakan, setelah itu dia membatu.

Keberdaan ibuku di kehidupan ini sendiri sungguh membinggungkanku. Apa pekjaan ibuku? Dari mana ibuku mencari rezki? Hidup pada lingkungan apa keseharian apa ibuku? Aku tidak tau jelas, karena ibuku sangat rapi menyembunyikan atau tepatnya mengemas semuanya. Ia hanya memberikan apa yang ku perlukan walau aku tak pernah memintanya. Ibu ku sangat mengerti aku dan sifatku, sedangkan aku sampai saat ini hanya menebak siapa ibuku. Aku memang pernah menduga jawaban semua pertanyaan tentang ibuku, tapi aku tak sangup melanjutkan karena rasa hormatku kepadanya

Aku dilahirkan dari sebuah keterpaksaan. Ibuku sendiri seperti tak mengiginkanya. Ayahku tak jelas / mungkin telah pergi, namun jenazahnya telah dikremasi waktu sekalipun. Apa bedanya? Hinga aku tak dapat mengenalinya dan sekedar melihat wajahnya.

Aku dilahirkan dari sebuah kedalaman rasa, bahkan aku merasa tak pernah ada logika dalam hidupku.semua rasa, ibarat seseorang tergores pisau tajam berkilau lalu ngilu, lalu perih, lalu limbung, itulah semacam itulah kehidupan yang telah menjadi ruang bagi gerakku. Ibu juga wujud dari itu. Bahkan guru dari rasa. Ia separti tak pernah berfikir. Ia membimbingku dengan rasa. Dan kini aku hadir menebar rasa buat siapa saja.

Manusia dilahirkan dalam kesucian. Begitu juga aku. Namun, dunia ini separti zat yang mengontaminasi segalanya. Walaupun mengatas namakan zaman yang carut marut. Banyak gadis yang dulu suci berseri, kini murung tak bermasa depan. Aku tak mau itu karenanya izinkan aku manjadi pemberontak sejati.

Oh…iya, tapi tak seharusnya aku disebut pemberontak karena aku justru berjalan di jalur yang benar. Tapi karena semua mengambil jalur yang berlawanan denganku, mereka menyebutku pemberontak. Dan aku menyebutku sendiri pemberontak sejati.

Hasrat itu memeng ada, tapi tapi ku simpan dalam dada. Aku manusia normal, tapi aku memiliki tubuh dan jiwa. Bila tubuhku tak terkendali maka jiwa ku turun tangan. Aku mahluk biologis, namun aku tak bias mengikuti mereka untuk mengikuti zaman seperti kebanyakan temanku yaitu berpacaran. Aku memang cantik, bukan hanya kata kebanyakan orang, tapi aku juga mengakuinya. Tapi cantik itu luka. Aku merasa kencantikanku adalah kutukan. Aku bertanya-tanya kenapa harus cantik? Kenapa harus yang cantik yang disukai orang? Kenapa tubuh yang cantik yang di cari orang? Emang cantik itu indah, tapi keindahan bukan hanya pada sesuatu yang cantik. Keindahan itu terlalu dangkal jika hanya diwakili oleh sekedar kecantikan. Cowok - cowok sering aku jumpai menghamba, bertekuk lutut padaku. Tapi setelah sadar, aku yakin terutama dari pandangan mereka yang penuh api, bahwa mereka nggak mencintaiku. Mereka hanya ingin aku. Tubuhki, bukan jiwaku.

Aku tahu, karena aku sering berimajinasi bahwa nafsu manusia terhadap dunia tak aka nada habisnya. Manusia cenderung pada sesuatu yang memiliki sensasi sehinga ia terbang, ekstase, dan terus… terus… terus sampai ia mati. Dan aku tak mau mati dalam keadaan demikian.”

Tiba-tiba saja gadis itu menghentikan tanganya yang sejak tadi menulis. Dia memandangi bayangan wajahnya di balik cermin. Wajah yang sudah tak dikenalinya lagi. Wajah yang dulu sering membuat teman-temannya iri. Karena keunikan yang khas kini tidak ada lagi, digantikan oleh wajah yang kurus dan pucat. Rambutnya yang dulu hitam dan tebal kini sudah hilang pesonanya akibat rontok yang berlebihan, mungkin sebentar lagi dia bahkan tidak bisa melihat sehelai rambut pun dikepalanya. Dia terisak… menangis …tanpa ia sadari air matanya mengalir, lalu ia memalingkan wajahnya dari cermin dan mengambil buku diary nya lagi. Untuk meredam semua yang ada dipikiranya. Ia menyalurkan dengan menulis pada diarynya. Seolah olah diarynya lah pasangannya saat ini. Dia tidak bias membayangkan bila tak ada buku hitam tebal itu.
“ karena kau adalah diriku, hidupku, rahasiaku, dan matiku” Gadis itu bergeming sembari memeluk dan menimang-nimang buku itu. Lalu dibukanya dan ia mulai menulis lagi.
Jelas detak-detak itu menyayat
Jelas detik-detik hanya menoreh
Kau adalah aku
Mengajakku menjadi angin kecil
Menemui siang, pagi, dan malam

Diary, aku tetap saja aku, dengan sosokku yang dahulu menurut orang adalah keindahan. Sebuah lesung pipit pada setiap senyumku. Aku memang tertawa-tawa, tapi mataku tak bisa berbohong. Aku sedih diatas keceriaan. Aku sepi diatas kehingar-bingaran. Aku lenyap. Aku yang ada adalah aku yang tiada memang membingungkan. Aku seorang penyendiri sekarang. Hanya ada kau dan tubuhku sekarang.

Dua bulan lalu aku masih gadis remaja biasa yang menikmati masa-masa terindahku di SMA. Aku masih gadis sehat dan mampu melakukan banyak hal tanpa harus merasa cemas kalau tiba-tiba aku pingsan di tengah lapangan. Tapi kenapa?! Kenapa aku harus mengalami semua ini?! Kehidupanku tidak berubah membaik malah bertambah buruk setelah 2 bulan yang lalu dokter memvonisku mengidap kanker otak. Sebuah penyakit yang orang lain tidak akan menduga bertenger di dalam tubuhku ini, badanku yang sehat . Tapi lihat sekarang kenyataan ini aku dapat karena salah satu orang tua ku mengidap penyakit ini. Lalu pada siapa aku harus menyalahkan? Setelah di check ibu ku tidak positif terkena penyakit itu. Lalu…? Ayahku..? yang aku belum pernah merasakan kehadiranya sekalipun dalam hidupku.

Arrgh … semua ini muncul dihadapkanku seperti desiran angin malam saat jendela masih terbuka, atau seperti guyuran hujan lebat saat aku tak berpayung,

Bila tubuh adalah modal social, sebuah kekayaan yang dipertaruhkan, akulah orang yang fakir itu sekarang akulah si miskin itu, yang dahulu mensyukuri keindahan semua itu. Setidaknya aku adalah 3 individu yaitu tubuhku, diriku, dan diaryku. Itu semua adalah aku yang tak bisa dipisahkan. Saat ini aku hanya bisa ngobrol bersama tubuhku dan diaryku. Jika temanku sering menghabiskan waktu di sebuah mall,hanya untuk memenuhi hasrat yang tak bisa mereka tolak. Aku kini juga selalu menghabiskan waktu untuk sekedar memenuhi hasrat yang tak bisa ku tolak dengan dua temanku lainya, dengan tubuhku dan diaryku.

Dan disinilah aku. Di sebuah kamar rumah sakit kanker. Tidak pernah ku bayangkan sebelumnya aku akan menjadi pasien disini dalam jangka waktu yang bahkan tidal dapat diperkirakan. Mengingat kondisiku yang bisa naik turun kapan pun. Aku sempat berfikir kenapa sih tuhan ngak adil banget? Lalu kenapa harus berlarut? Justru sekarang aku tidak pernah kehilangan keyakinan terhadap hidup ini. Aku tidak pernah memusuhi jalan hidupku yang sekarang harus ku lakukan adalah memanfatkan hidupku dengan gengku : tubuhku, jiwaku, dan diaryku. Memberikan kenangan manis untuk diriku dan ibuku karna hanya dialah satu-satunya orang yang ku punya. Aku ingin bisa seperti pelangi, memberikan keindahan pada yang melihaatnya dan kemudian menghilang dengan anggun.

Kenapa?
Kenapa tubuh ? kenapa topeng ? kenapa masalah? Kenapa seperti kiamat ? Saat tubuh kompromi dengan mimpi, kenapa? Tidakkah bodoh? Menyiksa diri? Mengapa seperti pelangi pada kekeringan akibat kemarau panjang. Lalu mengutuk tuhan lalu musnah saja. Kenapa tak musnah saja?
(Sebuah malam menuju kekekalan yang menyakitkan) . By Lara.

Aku sadar, aku hanya terbawa emosi saja. Ahhh …kenapa aku begitu melankolis? Entahlah , hanya jiwaku dan kau yang tau.

Hari ini kebebasan itu kupu-kupu
Kupu-kupu itu kebebasan
Aku hanya ingin gapai
Hanya lelah..
Hanya lelah…

Ya… kupu-kupu selalu mengalami metamorfosis tapi keindahanya selalu ditunggu orang. Kenapa aku sebaliknya?”

Lara pun menutup kembali diarynya . Dulu mimpi itu dihadapan mata, menjadi Model hampir terwujud. Karena dia punya modal untuk itu. Kecantikan, kepandaian. Mimpi lainya adalah menjadi penulis terkenal. Dia bahkan seperti bisa menemukan hidup yang sebenarnya pada karya sastra. Dia banyak belajar dari tragedi – tragedi kemanusiaan dalam sebuah karya sastra. Sehinga dia mencoba arif dalam menyikapi hidunya sendiri yang berat oleh karena itu Lara tergelitik juga untuk menulis karya sastra.

Saat ini empat bulan telah ia lalui dalam kesendirian.

Dia sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan ibunya mendukung cita-cita itu, sebelum kenyataan pahit ini menimpa hidupnyan. Ayahnya yang menghadirkan dia di dunia ini juga akan membunuh cita-citanya pelan-pelan dengan Ia harus membawa penyakit orang yang asing dalam hidupnya, menjadi bagian penderitaanya. Malam itu Lara tertidur dan di dalam mimpinya dia bertemu dengan ayahnya, ayah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, ayahnya mengajak dia tinggal bersamanya ditempat yang indah seperti yang sering dia bayangkan sewaktu kecil. Tempat yang bagus banget , banyak bunga, pepohonan, udaranya sejuk, rasanya nyaman banget bareng ayahnya. Ngak terasa hari sudah malam Lara teringat ibunya dan teringat sifat ibunya yang sangat membenci ayahnya. Ayahnya tetap memaksa Lara tapi dengan susah payah Lara dapat terbangun, pas Lara buka mata ada ibunya seorang diri bukan ayahnya lagi melihat Lara , dia menangis dan langsung memeluk Lara. Teryata Lara tadi lagi koma yang cukup panjang…. Ya ampun Lara ngak kebayang kalo tadi terima ajakan ayahnya.

“Aduh … akhir - akhir ini kepala Lara sering sakit. Enggak tau kenapa, kayaknya sebentar lagi Lara pergi, deh! Bukanya aku ingin ningalin kamu, diary
Bukanya pengen ningalin Ibu, tapi…

Duh …kepala Lara sakit banget. Dari kemaren sakitnya enggak berhenti. Lara nggak kuat lagi … Lara udah nggak tahan sama sakitnya.”

Sabtu, 19 September 1993

Diary … hari ini Lara nggak ngrasain sakit lagi. Rasanya udah nggak punya tenaga lagi. Satu-satunya yang bisa Lara bisa kerjain Cuma nulis ini. Hari ini dokter sudah ngebolehin Lara makan apa saja yang lara suka. Lara ngrasa hidup lara tinggal beberapa jam lagi. Bagaimana dengan 3 mimpiku…?
Mimpi itu adalah :
1. Menjadi penulis terkenal (Ini adalah impian terbesar dalam hidupku)
2. Membahagiakan Ibuku (Aku ingin melihat Dia tertawa lepas)
3. Melihat, mengetahui, merasakan sosok ayah. Yang selama ini aku sangat merindukanya.

Mungkin aku harus merelakanya terbawa angin dan lenyap begitu saja. Lalu bagaimana dengan geng ku yaitu tubuhku, jiwaku, dan diaryku yang menjadi kesatuan selama ini. Yang mengajakku bertahan, mungkinkah kita bertiga akan terbisah jarak, ruang dan waktu ? Mungkin dengan berakhirnya diary ini, hari-hari Lara yang lara juga bakal berakhir. Lara ingin mendapat kehidupan yang baru, kehidupan ke dua Lara yang tak akan lara bersama ayahku. Maaafin diriku, tubuhku!!, maafin Lara, diaryku…
Mungkin tuhan punya rencana dibalik semua ini. Selamat tinggal tubuhku, selamat tinggal diaryku… selamat tinggal Ibu..Lara selalu sayang sama Ibu.

Tanpa terasa mata Lara tertutup, didalam tidur panjangnya terdapat senyum yang indah di wajah Lara. Walaupun tiga bagian dari dirinya terpisah, tubuhnya kini telah dimakamkan dengan baik. Diarynya kini telah di bukukan menjadi sebuah novel yang melambungkan namanya. Sekarang semua orang bisa membaca diarynya dan termotivasi dengan semangat seperti Lara. Dan jiwanya telah tenang di dunia yang kekal dan abadi.

Mungkin kali ini Lara bisa melihat sosok Ayahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar